Kamis, 28 April 2011

Aliran jabariyah

BAB I

Pendahuluan

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat disbanding persoalan syariat, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti ³kata-kata´. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jabariah

Kata "Jabariyah" berasal dari kata bahasa arab "Jabara" yang artinya memaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah SWT. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia.

Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti

Menurut Asy-Syahratsan bahwa paham Jabariah berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah. (Harun Nasution, 1986 : 31)

B. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara. Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggung jawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti. Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyade (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.

C. Awal Kemunculan Jabariyah

Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori pertama kali oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.

Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.

Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.

D. Tokoh jabariah dan Doktrin-Doktrinnya

Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:

1. Ja'd Bin Dirham

Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Pendapat-pendapatnya :

· Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.

· Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

2. Jahm bin Shafwan

Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan dengan Bani Ummayah. Pendapat-pendapatnya:

· Manusia tidak mampu untuk berbuaat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.

· Surga dan neraka tidak kekal.

· Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah

· Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak

Dengan demikian beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-Ariah. Itulah sebabnya para pengkrtik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.

3. An-Najjar

Di antara pendapat-pendapatnya adalah:

· Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

· Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

4. Adh-Ddirar

Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

BAB III

KESIMPULAN

Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggung jawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

www.ilma95.net/jabariyah.htm -

Http://motivasi.wordpress.com

http://bara-aliranjabariyah.blogspot.com/2009/11/aliran-jaba...

25987838-ALIRAN-JABARIYAH

definisi Haji dan Umroh

PEMBAHASAN

A. Definisi Haji dan Umroh

Haji secara etimologis berarti Tujuan, maksud, dan menyengaja. Sedangkan secara terminologis berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik haji, yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dengan cara yang tertentu pula.

Umroh secara etimologis berarti Ziarah, sedangkan menurut ulama fiqih yaitu dengan sengaja mendatangi ka’bah untuk melaksanakan amalan tertentu yang terdiri atas tawaf, sai, dan bercukur.

B. Dasar Hukum

Artinya : “ Mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban Haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam “

Artinya: ”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.

Artinya: “Islam itu didirikan atas lima perkara : yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, Mendirikan sholat, Menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan pergi haji jika mampu.”

C. Syarat-syarat haji dan Umroh

Ibadah Haji dan Umroh wajib dilaksanakan oleh orang yang memenuhi persyaratan, yaitu :

1) Islam

2) Baligh

3) Berakal sehat

4) Merdeka

5) Mampu

6) Bagi perempuan, wajib disertai mahromnya, hal tersebut berdasarkan hadits Rosulullah SAW.

Artinya : Dari Ibnu Abbas, Rosulullah saw. Bersabda : Tidak boleh seseorang perempuan bepergian kecuali beserta mahromnya, dan tidak boleh laki-laki mendampingi wanita kecuali jika ia beserta mahromnya. Seseorang bertanya, “ya Rosulullah, sesungguhnya saya bermaksud pergi perang, sedang istri saya ingin melaksanakan haji .” Beliau menjawab, “pergilah bersama istrimu melaksanakan haji.” (HR. Bukhori).

D. Rukun dan Wajib Haji

1) Ihrom

2) Wukuf di Arofah

3) Tawaf

4) Sa’I

5) Bercukur Atau memotong rambut beberapa helai.

Adapun wajib Haji yaitu :

1) Ihrom dari miqot zamani dan miqot makani

2) Melontar jumroh

3) Bermalam di Muzdalifah

4) Bermalam di Mina

5) Melaksanakan Tawaf wada’,jika akan meninggalkan kota Mekah

E. Rukun Umroh

1) Ihrom

2) Tawaf

3) Sai

4) Bercukur

F. Macam-macam Haji

a. Haji ifrod

Haji Ifrod yaitu membedakan haji dan umroh ; Ibadah haji dan umroh masing-masing di kerjakan tersendiri. Pelaksanaannya, ibadah haji di lakukan terlebih dahulu, setelah selesai baru melakukan umroh.

b. Haji Tamattu’

Adalah melakukan umroh terlebih dahulu pada bulan haji dan setelah selesai baru melakukan haji. Orang yang mengerjakan haji dengan cara ini wajib membayar dam(Denda).

c. Haji Qiron

Adalah melaksanakan haji dan umroh secara bersamaan dan Orang yang mengerjakan haji dengan cara ini wajib membayar dam(Denda).

DAFTAR PUSTAKA

  • Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999

  • Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

  • Dr. H. M. Suparta , FIQIH Madrasah Aliyah Kelas 1, Semarang : Toha Putra, 1994

  • Fiqih Wanita

Jual beli dalam islam

BAB I

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli Dan Dasar Hukum Jual Beli

Jual Beli Menurut Bahasa adalah perdagangan , sedangkan menurut istilah adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah pihak, yang satu yang satu menerima benda-benda daan pihak lain menerimanya sesuai dengan ketentuan yang di benarkan syara’

Dasar hukum jual beli adalah sebagaimana firman allah SWT.

Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

B. Rukun dan syarat Jual Beli

  1. Rukun jual beli , yaitu :
  1. Akad (ijab qobul)
  2. Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
  3. Ma’kud alaih (objek akad/benda yang dijual)

  1. Syarat jual beli, yaitu :
  1. Akad (ijab qobul) Syaratnya adalah jangan ada yang memisahkan (maksudnya pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya), jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qobul, beragama islam bagi pembelinya saja dalam bendabenda tertentu.

Mengenai ijab dan qobul para ulama fiqih berbeda pendapat

1. imam malik : “Bahwa jual beli itutelah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja.”

2. Imam syafi’I : “Tidak sah akads jual beli kecuali dengan sighat (ijab qobul) yang diucapkan.

3. Menurut jumhur : “Jual beli sesuatu yang sah menjadi kebuthan sehari-hari, tidak disyaratkan ijab dan qobul”.

  1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli) syaratnya adalah : Baligh dan berakal, beragama islam bagi pembelinya saja dalam benda-benda tertentu.

c. Ma’kud alaih (objek akad/benda yang dijual) syaratnya adalah : suci, memberi manfaat menurut syara’, jangan ditataklikan yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, tidak dibatasiwaktunya, dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, milik sendiri dan dapat diketahui atau dilihat.

C. Khiyar dan Macam-macamnya

Khiyar Menurut Bahasa adalah Memilih, sedangkan menurut istilah adalah Memilih antara dua alternatif, meneruskan akad jual beli atau membatalkannya.

Macam-macam khiyar

  1. Khiyar Majlis

Khiyar Majlis yaitu memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya selam penjual dan pembeli masih berada di tempat jual beli. Rosulullah SAW. Bersabda :

Artinya : “ Dua orang yang berjual beli boleh memilih selam keduanya belum berpisah.” (H.R Bukhori dan Muslim)

  1. Khiyar Syarat

Khiyar Syarat yaitu memilih antara jadi melakukan jual beli atau tidak dengan mempertimbangkannya dalam beberapa hari. Rosulullah SAW. Bersabda :

Artinya : “ Kamu berhak melakukan khiyar di segala barang yang kamu beli selama tiga hari tiga malam.” (H.R. Baihaqi).

  1. Khiyar ‘Aibi

Khiyar ‘Aibi yaitu memilih untuk melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya apabila pada barang tersebut terdapat cacat yang tidak di ketahui oleh pembeli pada waktu melakukan akad jual beli. Rosulullah SAW. Bersabda

Artinya : “ Aisyah telah meriwayatkan : Sesungguhnya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, lalu tinggal beberapa lama dengannya, kemudian diketahui bahwa budak tersebut ada cacatnya, lalu ia melaporkannya kepada nabi SAW. (maka nabi memutuskannya) lalu budak tersebut dikembalikan kepad pemiliknya “. (H.R. Ahmad dan Abu Daud dan turmudzi).

D. Jual Beli Yang Dilarang

  1. Dilarang Karena Dzatnya Haram atau najis

Barang yang najis atau haram untuk dimakan haram untuk di perjual belikan, misalnya : Babi, Bangkai, Dll. Rosulullah SAW. Bersabda .

Artinya : “ Sesungguhnya Allah dan rosulnya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi, dan patung. “ ( Mutafaqun Alaih)

Adapun mengenai kotoran binatang banyak ulama yang membolehkannya .

  1. Dilarang karena dapat menimbulkan kemadhorotan .

Barang- barang yang dapat menimbulkan kemadhorotan, kemaksiatan, bahkan kemusyrikan dilarang untuk memperjual belikannya seperti : Patung, salib, dll.

  1. Dilarang karena samar-samar

Sesuatu yang samar-samar,haram untuk diperjual belikan karena dapat merugikan salah satu pihak baik penjual maupun pembeli. Seperti :

  1. Jual beli buah-buahan yang belum nampak. Rosulullah SAW. Bersabda

Artinya :” Bahwasanya nabi SAW. Melarang menjual buah-buahan sehingga nampak baiknya dan matang. “ (Mutafaqun Alaih)

  1. jual beli hewan yang lepas atau lari

mengenai jual beli ini para ulama berbeda pendapat :

Menurut Imam Abu Hanifah ia membolehkan jual beli hewan yang lepas asal diketahui sifatnya dan diketahui kemana larinya.sedangkan Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’I yaitu melarang jual beli hewan yang lari, larangan tersebut menurut imam syafi’I diqiyaskan kepada larangan jual beli budak yang lari. Sebagaimana sabda Nabi :

“Dan (Rosululloh SAW, melarang) Jual beli hamba yang lari (dari tuannya). HR. Ibnu Majah.

  1. Dilarang karena jual beli bersyarat

Jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu atau ada unsur-unsur yang merugikan dan dilarang oleh agama.

Contohnya seperti ijab Kabul yang dikatakan oleh pembeli : “Baik, Sawahmu akan kubeli dengan harga sekian dengan syarat anak gadismu harus menjadi istriku.”

  1. Dilarang karena mengandung unsur penipuan atau kecurangan atau karena merugikan pihak lain

Contohnya seperti membeli barang lalu menimbunnya dengan tujuan memonopoli barang tersebut.

E. Macam-macam Jual Beli yang Dibolehkan

Jual beli yang dibolehkan antara lain :

1) Bai’ as-Salam

Bai’ as-Salam adalah jual beli dimana harga dibayarkan dimuka/majlis akad. Sedangkan barang dengan kriteria tertentu diserahkan pada waktu tertentu.

Prinsip akad salam :

a. Obyek Salam bersifat al-dain (tanggungan).

b. Dalam akad salam dibatasi dengan tempo (waktu) yang pasti.

c. Ro’sul-mal (harga pokok), dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan dalam majlis.

Contohnya : Kita membeli meja dan bangku, dan kita hanya membayar harga bangku atau harga mejanya saja, setelah barangnya dikirim baru kemudian kita lunasi.

2) Bai’ al-Istishna’

Bai’ al-Istishna’ adalah akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu, dimana materi dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pengrajin. Contohnya seperti seorang penjual sepatu yang memesan sepatu kepada pengrajin sepatu, yang mana bayarannya tersebut setelah sepatu dikirim.

Prinsip akad Istishna’ ialah :

a. Obyek akad harus dinyatakan dengan jelas. Baik dari segi jenis, ukuran, sifat dan lain-lain.

b. Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau kerajinan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

c. Waktu pengadaan produk tidak dibatasi.

3) Bai’ ash-Shorf

Bai’ ash-Shorf menurut bahasa ialah az-Ziyadah (tambahan) dan al-‘Adl (seimbang). Sedangkan menurut istilah ialah jual beli antara barang yang sejenis atau antara barang yang tidak sejenis secara tunai (jual beli tukar barang atau barter).

Contohnya seperti penukaran mata uang rupiah terhadap dollar (money changer).

Syarat akad ash-Shorf adalah :

a. Masing-masing pihak saling menyerah terimakan barang sebelum keduanya berpisah.

b. Jika akad ash-Shorf dilakukan atas barang yang sejenis, maka harus seimbang, meskipun keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.

c. Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad ash-Shorf. Karena akad ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai.

4) Bai’ al-Mu’athoh

Bai’ al-Mu’athoh adalah mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan Kabul. Contohnya seperti seseorang yang membeli barang di minimarket yang mana label harganya sudah tertera pada barang tersebut.

Menurut sebagian Ulama Syafi’I hal ini dilarang karena tidak ada ijab Kabul yang merupakan rukun jual beli. Sedangkan sebagian Ulama Syafi’I yang lainnya membolehkan jual beli tanpa ijab Kabul seperti itu.

5) Bai’ al-Jazaf

Bai’ al-Jazaf adalah jual beli suatu barang tanpa menggunakan alat ukur. Contohnya seperti seseorang yang membeli nasi uduk.

F. Hikmah Jual Beli

Hikmah jual beli antara lain :

1) Dapat menanamkan sifat menghargai hak milik orang lain.

2) Dalam memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan antara penjual dan pembeli.

3) Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang haram.

4) Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

5) Dapat mendorong untuk saling membantu antara penjual dan pembeli.

6) Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah SWT.

BAB II PENUTUP

A. Kesimpulan

· Jual Beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah pihak

· Rukun jual beli , yaitu :

d. Akad (ijab qobul)

e. Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)

f. Ma’kud alaih (objek akad/benda yang dijual)

· Syarat jual beli, yaitu :Akad (ijab qobul), Orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan Ma’kud alaih (objek akad/benda yang dijual).

· Khiyar terbagi tiga : Khiyar Majlis, Khiyar Syarat, dan Khiyar ‘aibi.

· Jual Beli Yang Dilarang

a. Dilarang Karena Dzatnya Haram atau najis

b. Dilarang karena dapat menimbulkan kemadhorotan ..

c. Dilarang karena samar-samar

d. Jual beli buah-buahan yang belum nampak.

e. Jual beli hewan yang lepas atau lari

f. Dilarang karena jual beli bersyarat

g. Dilarang karena mengandung unsur penipuan atau kecurangan atau karena merugikan pihak lain

· Jual Beli yang dibolehkan antara lain :

a. Bai’ as-Salam

b. Bai’ al-Istishna’

c. Bai’ ash-Shorf

d. Bai’ al-Mu’athoh

e. Bai’ al-Jazaf

DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman Rasjid, H. : FIQH ISLAM. Bandung, Sinar Baru. 1954

Zainuddin Djedjen, Drs. Dan Dr. H. M. Suparta , FIQIH Madrasah Aliyah Kelas 2, Semarang : Toha Putra, 1994

Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam

PEMBAHASAN

Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang di sengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan agama Islam sebagai suatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan bagi semua kegiatan didalamya.

Dasar Pendidikan Agama Islam secara garis besar ada tiga yaitu: Al-qur`an, As-sunnah, dan perundangan yang berlaku di Negara kita.

1) Al qur`an

Secara lengkap al-Qur`an didefenisikan sebagai firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad Ibn Abdillah, melalui ruh al-Amin dengan lafal-lafalnya yang berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah Rasulullah, dan sebagai undang-undang bagi manusia dan memberi petunjuk kepada mereka, serta menjadi sarana pendekatan dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Dan Ia terhimpun dalam sebuah mushaf, diawali dengan surat al- fatihah dan diakhiri dengan surat al-naas, disampikan kepada kita secara mutawatir baik secara lisan maupun tulisan dari generasi kegenerasi, dan ia terpelihara dari berbagai perubahan atau pergantian, sesuai dengan firman Allah s.w.t.

Islam adalah agama yang membawa misi umatnya menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Al-Qur`an merupakan landasan paling dasar yang dijadikan acuan dasar hukum tentang Pendidikan Agama Islam. Firman Allah tentang Pendidikan Agama Islam dalam Al-qur`an Surat Al –alaq ayat 1 sampai ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya :

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.” [1]

Dari ayat-ayat tersebut diatas dapatlah di ambil kesimpulan bahwa seolah-olah Tuhan berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia (dari segumpal darah), selanjutnya untuk memperkokoh keyakinan dan memeliharanya agar tidak luntur hendaklah melaksanakan pendidikan dan pengajaran.

2) As-sunnah.

As-sunnah didefenisikan sebagai sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad s.a.w. yang terdiri dari ucapan, perbuatan,persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya.

Suatu hal yang sudah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah Muhammad s.a.w. diutus ke bumi ini, salah satunya adalah untuk memperbaiki moral atau akhlak umat manusia, sebagaimana sabdanya :

Artinya :“Sesungguhnya aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.(HR.Muslim)

Makna hadist ini sudah jelas, tujuannya sudah dapat dimengerti oleh umat muslim. Namun yang terpenting dibalik hadist ini adalah, memformulasikan sistem, metode, atau cara yang harus ditempuh oleh para penanggung jawab pendidikan dalam meneruskan misi risalah, yaitu menyempurnakan keutamaan akhlak. Dan banyak lagi hadist yang memiliki konotasi pedagogis, baik mengenai metode, materi, orientasi, dan lain sebagainya.

Rasulullah Muhammad s.a.w. juga seorang pendidik, yang telah berhasil memebentuk masyarakat rabbaniy, masyarakat yang terdidik secara Islami. Robert L. Gullick, Jr. dalam bukunya Muhammad the educator, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, menulis :

“Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta melahirkan ketertiban dan kesetabilan yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo tidak tertandingi, dan gairah yang menantang. Hanya konsep pendidikan yang paling dangkalah yang berani menolak keabsahan meletakan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena, dari sudut pragmatis, seorang yng mengangkat prilaku manusia adalah seorang pangeran diantara seorang pendidik”.[2]

Jadi jelas, bahwa perkataan, perbuatan, ketepatan, dan sifat Rasulullah s.a.w. sarat dengan pendidikan.

3) Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[3]

a) UUD 1945, Pasal 29.

Ayat 1 berbunyi : “Negara berdasaarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ayat 2 berbunyi : “Negara menjaminin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadaah menurut agamanya dan kepercayan itu….”

Pasal 29 uud 1945 ini di berikan jaminan kepada warga Negara Republik Indonesia untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama yang di peluknya bahkan mengadakan kegiatan yang dapat menjunjung bagi plaksanaan ibadat. Dengan demikian pendidikan Islam yang searah dengan bentuk ibadat yang di yakininya diizinkan dan dijamin oleh Negara.

b) GBHN.

  1. Dalam GBHN Tahun 1993 Bidang Agama dan kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa No. 22 di sebutkan:

“Kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap tuhan Yang Maha Esa makin di kembangkan sehingga terbina kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kualitas kerukunan antar umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan kesatuan bangsa serta meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.”

  1. Sedangkan untuk mengembangkan keagamaan itu sangat di perlukan pelaksanaan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan Islam.

c) UU No.2 Tahun 1989 (tentang Sistem Pendidikan Nasional).

(1). Pasal 11 Ayat 1 disebutkan:

“Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinas, pendidikan keagaman, pendidikan akademik, dan pendidikan professional.”

(2). Pasal 11 Ayat 6 disebutkan:

“ pendidikan keagaman merpupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasa pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.”

Sedangkan dari Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 ini dapat di simpulkan bahwa pendidikan keagaman bermaksud mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan perannya sebagai pemeluk agama yang benar-benar memadai. Di antara syarat dan prasyarat agar peserta didik dapat menjalankan peranannya dengan baik diperlukan pengetahuan Ilmu pendidikan Islam. Mengingat ilmu ini tidak hanya menekan pada segi teoritis saja, tetapi juga peraktis, Ilmu Pendidikan Islam termasuk ilmu praktis maka peserta didik di harapkan dapat menguasai ilmu tersebut secara penuh baik teoritis maupun peraktis, sehingga ia benar-benar mampu memainkan pranannya dengan tepat dalam hidup dan kehidupan.



[1] Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahannya, (Semarang : Thoha Putra, 1989), h. 375

[2] H. Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Lembaga Pendidikan Umat, 2005), Diktat, h. 17.

[3] MPR-RI 1993, Ketetapan-ketetapan MPR-RI 1993, Beserta Susunan Kabinet Pembangunan,(Semarang : Aneka Ilmu, 1993).

Ruang Lingkup Pendidikan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan pada dasarnya adalah media dalam mendidik dan mengembangkan peotensi-potensi kemanusiaan yang primordial. Pendidikan sejatinya adalah gerbang untuk mengantar umat manusia menuju peradaban yang lebih tinggi dan humanis dengan berlandaskan pada keselarasan hubungan manusia, lingkungan, dan sang pencipta. Pendidikan adalah sebuah ranah yang didalamnya melibatkan dialektika interpersonal dalam mengisi ruang-ruang kehidupan; sebuah ranah yang menjadi pelita bagi perjalanan umat manusia, masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.

Pendidikan islam dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang tepat untuk mengantarkan kegiatan pendidikan ke arah tujuan yang dicita-citakan. Bagaimanapun baik dan sempurnanya kurikulum pendidikan Islam, ia tidak berarti apa-apa, manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentransformasikannya kepada peserta didik.

BAB II

PEMBAHASAN

Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun segi-segi atau pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan islam adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan Mendidik Itu Sendiri.

Maksudnya adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi/mengasuh anak didik.

2. Anak Didik

Dalam pengertian umum anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sedang dalam arti sempit anak didik ialah anak (pribadi yang belum dewasa ) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik.[1]

Anak didik merupakan obyek utama dari pendidikan dalam paradigma modern, anak didik tidak hanya di pandang sebagai objek pendidikan tapi secara bersamaan di pandang sebagai subyek pendidikan itu sendiri paradigma ini sejalan dengan konsep pendidikan islam bahwa pendidikan islam lebih sebagai proses bimbingan dan pemberian bantuan. Hal ini menempatkan anak didik sebagai actor utama dalam proses pendidikan agama islam dan guru sebagai fasilitator.[2]

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

A. Dasar Pendidikan Islam

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang di sengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan agama Islam sebagai suatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan bagi semua kegiatan didalamya.

Dasar Pendidikan Agama Islam secara garis besar ada tiga yaitu: Al-qur`an, As-sunnah, dan perundangan yang berlaku di Negara kita.

1) Al Qur`An

Secara lengkap al-Qur`an didefinisikan sebagai firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad Ibn Abdillah, melalui ruh al-Amin dengan lafal-lafalnya yang berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah Rasulullah, dan sebagai undang-undang bagi manusia dan memberi petunjuk kepada mereka, serta menjadi sarana pendekatan dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Dan Ia terhimpun dalam sebuah mushaf, diawali dengan surat al- fatihah dan diakhiri dengan surat al-naas, disampikan kepada kita secara mutawatir baik secara lisan maupun tulisan dari generasi kegenerasi, dan ia terpelihara dari berbagai perubahan atau pergantian, sesuai dengan firman Allah SWT.

Islam adalah agama yang membawa misi umatnya menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Al-Qur`an merupakan landasan paling dasar yang dijadikan acuan dasar hukum tentang Pendidikan Agama Islam. Firman Allah tentang Pendidikan Agama Islam dalam Al-qur`an Surat Al –alaq ayat 1 sampai ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.”

Dari ayat-ayat tersebut diatas dapatlah di ambil kesimpulan bahwa seolah-olah Tuhan berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia (dari segumpal darah), selanjutnya untuk memperkokoh keyakinan dan memeliharanya agar tidak luntur hendaklah melaksanakan pendidikan dan pengajaran.

2) As-Sunnah.

As-sunnah didefenisikan sebagai sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad SAW. yang terdiri dari ucapan, perbuatan,persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya.Suatu hal yang sudah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah Muhammad s.a.w. diutus ke bumi ini, salah satunya adalah untuk memperbaiki moral atau akhlak umat manusia, sebagaimana sabdanya :

Artinya :“Sesungguhnya aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.(HR.Muslim)

Makna hadist ini sudah jelas, tujuannya sudah dapat dimengerti oleh umat muslim. Namun yang terpenting dibalik hadist ini adalah, memformulasikan sistem, metode, atau cara yang harus ditempuh oleh para penanggung jawab pendidikan dalam meneruskan misi risalah, yaitu menyempurnakan keutamaan akhlak. Dan banyak lagi hadist yang memiliki konotasi pedagogis, baik mengenai metode, materi, orientasi, dan lain sebagainya.

Rasulullah Muhammad s.a.w. juga seorang pendidik, yang telah berhasil memebentuk masyarakat rabbaniy, masyarakat yang terdidik secara Islami. Robert L. Gullick, Jr. dalam bukunya Muhammad the educator, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, menulis :

“Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta melahirkan ketertiban dan kesetabilan yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo tidak tertandingi, dan gairah yang menantang. Hanya konsep pendidikan yang paling dangkalah yang berani menolak keabsahan meletakan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena, dari sudut pragmatis, seorang yng mengangkat prilaku manusia adalah seorang pangeran diantara seorang pendidik”

3) Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

a. UUD 1945, Pasal 29

Ayat 1 berbunyi : “Negara berdasaarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ayat 2 berbunyi : “Negara menjaminin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadaah menurut agamanya dan kepercayan itu….”

Pasal 29 uud 1945 ini di berikan jaminan kepada warga Negara Republik Indonesia untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama yang di peluknya bahkan mengadakan kegiatan yang dapat menjunjung bagi plaksanaan ibadat. Dengan demikian pendidikan Islam yang searah dengan bentuk ibadat yang di yakininya diizinkan dan dijamin oleh Negara.

b. GBHN.

1. Dalam GBHN Tahun 1993 Bidang Agama dan kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa No. 22 di sebutkan:

“Kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap tuhan Yang Maha Esa makin di kembangkan sehingga terbina kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kualitas kerukunan antar umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan kesatuan bangsa serta meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.”

2. Sedangkan untuk mengembangkan keagamaan itu sangat di perlukan pelaksanaan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan Islam.

c. UU No.2 Tahun 1989 (tentang Sistem Pendidikan Nasional).

1. Pasal 11 Ayat 1 disebutkan:

“Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinas, pendidikan keagaman, pendidikan akademik, dan pendidikan professional.”

2. Pasal 11 Ayat 6 disebutkan:

“ pendidikan keagaman merpupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasa pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.”

Sedangkan dari Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 ini dapat di simpulkan bahwa pendidikan keagaman bermaksud mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan perannya sebagai pemeluk agama yang benar-benar memadai. Di antara syarat dan prasyarat agar peserta didik dapat menjalankan peranannya dengan baik diperlukan pengetahuan Ilmu pendidikan Islam. Mengingat ilmu ini tidak hanya menekan pada segi teoritis saja, tetapi juga peraktis, Ilmu Pendidikan Islam termasuk ilmu praktis maka peserta didik di harapkan dapat menguasai ilmu tersebut secara penuh baik teoritis maupun peraktis, sehingga ia benar-benar mampu memainkan pranannya dengan tepat dalam hidup dan kehidupan.

B. Tujuan Pendidikan Islam

Setiap kegiatan apapun bentuk dan jenisnya sadar atau tidak sadar selalu di harapkan kepada tujuan yang ingin di capai. Bagaimanpun segala sesuatu atau usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dengan demikian tujuan merupakan factor yang sangat menentukan.[3]

Pendidkan islam adalah pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan. Menurut imam Ghozali bahwa pendidikan islam adalah “ membina insan paripurna yang bertaqorrub kepada Allah bahagia di dunia dan akhirat. Tidak dapat di lupakan pula bahwa orangh yang mengikuti pendidikan akan memperoleh kelezatan ilmu yang di pelajarinya dan kelezatan ini pula yang akan dapat mengantarkannya kepada kepada insane paripurna. “

Sedangkan menurut Zakiah Dradjat tujuan pendidikan islam itu dibagi kepada :

1. Tujuan umum

Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain tujuan ini meliputi meliputi semua aspek kemanusiaan yang mencakup sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan.

2. Tujuan akhir

menimbang bahwa pendidkan islam adalah pendidkan selama hidup (long live education) maka tujuan akhir dari dari pendidikan islam adalah terwujudnya insdan kamil, yaitu orang yang telah mencapai ketaqwaan dan menghadap Allah dalam ketaqwaannya.

3. Tujuan Sementara

Tujuan sementara adalah tujuan yang akan di capai setelah anak diberi sejumlah pengalaman tertentu yang di rencanakan dalam csuatu kurikulum pendidikan formal.

4. Tujuan operasional

Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan di capai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.[4]

4. Pendidik

Keberadaan pendidik dalam pendidikan tidak dapat dipungkiri sangatlah esensial dalam menentukan warna dari pelaksanaan proses pendidikan itu sendiri.

Dalam konsep pendidikan islam pendidik adalah bapak rohani bagi anak didiknya yang memeberikan santapan jiwa dengan ilmu pengetahuan, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskannya. Maka tidak mengherankan jika islam menempatkan pendidik pada posisi yang mulia dalam kehidupan ini. Imam Ghozali dalam kitabnya “ihya ulumuddin” bahwa :”pendidik merupakan pelita segala zaman orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmuannya. Andaikata dunia tidak ada pendidik niscaya manusia seperti binatang, sebab pendidik adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah

5. Materi Pendidikan Islam

Lingkup materi pendidikan Islam secara lengkap dikemukakan oleh Heri Jauhari Muchtar dalam bukunya “Fikih Pendidikan”, bahwa pendidikan Islam melingkupi: Pendidikan keimanan (Tarbiyatul imaniyah), Pendidikan moral/akhlak (Tarbiyatul khuluqiyah), Pendidikan jasmani (Tarbiyatul jasmaniyah), Pendidikan rasio (Tarbiyatul aqliyah), Pendidikan kejiwaan/hati nurani (Tarbiyatulnafsiyah), Pendidikan sosial/kemasyarakatan (Tarbiyatul ijtimaiyah), dan Pendidikan seksual (Tarbiyatul Syahwaniyah)[5]

6. Metode Pendidikan Islam

Metode berasal dari latin “meta “ yang berarti melalui dan “hodos” yang berarti jalan atau ke atau cara ke. dalam bahas arab metode disebut “Toriqoh” Artinya jalan, cara atau ketertiban dalam mengerjarkan sesuatu. dalam kamus besar bahasa Indonesia metode di artikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya ) atau dapat juga diartikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang di tentukan.[6]

7. Evaluasi Pendidikan

a. Pengertai Evaluasi

Menurut bahasa, kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris “evalution”, yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. [7]

Program evaluasi di terapkan dalam rangka mengetahui tingkatan keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengasn materi, metode, fasilitas dan sebagainya.[8]

b. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan Islam

Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh jika ditinjau dari beberapa segi. Oleh karena itu dalam melaksanakan evaluasi harus memperhatikan berbagai prinsip antara lain.

1. Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)

Evaluasi tidak hanya dilakukan setahun sekali atau persemester tetapi dilakukan secara terus-menerus mulai dari proses belajar mengajar sambil memperhatikan keadaan anak didiknya hingga anak didik tersebut tamat dari lembaga sekolah.

Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil.

2. Prinsip Menyeluruh (komprehensif)

Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab

3. Prinsip Objektivitas

Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaharui oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional.[9]

c. Sasaran Evaluasi

Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam mengevaluasi adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun alat-alat evaluasinya.

Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu:

1. Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, keterampilan murid sebagai akibat dari proses belajar mengajar.

2. Segi pendidikan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru dalam proses belajar mengajar

3. Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai oleh murid.

8. Alat-Alat Pendidikan Islam

Alat pendidikan adalah suatu tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan pendidikan yang tertentu. alat pendidikan merupakan factor pendidikan yang sengaja di buat dan digunakan demi tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan

9. Lingkungan Sekitar Atau Millieu Pendidikan Islam

Yaitu keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan islam. Berbicara lingkungan dalam konteks pendidikan maka tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan ki hajar dewantara dengan penamaan tripusat pendidikan. ki hajar dewantara mengatakan bahwa pendidikan berlangsung dalam tripusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.

1. Lingkungan Keluarga

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam keluarga akan terjadi proses pendidikan, bahkan lingkungan keluarga sebagimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ( SISDIKNAS) No 20 tahun 2003 merupakan lembaga pendidikan informal. Dari sini nampak secara yuridis maka keluarga memilki tanggung jawab dan peran yang besar dalam pendidikan anak-anaknya. orang tua pada lingkungan ini menjadi pendidik dan anak menjadi peserta didik.

2. Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah merupakan lingkungan dimana peserta didik menyerap nilai-nilai akademik termasuk bersosialisasi dengan guru dan teman sekolah. mengenai hal ini Zarnuzi penulis buku ta’limul muta’allim memberikan arahan tentang guru dan teman. menurut Zarnuzi, Idealnya seorang guru memiliki sifat ‘alim wara’ dan lebih tua.

Demikian pula anak di sekolah tidak akan lepas dari pergaulan dengan teman sebayanya. dalam hal ini Zarnuzi menyarankan agar memilih teman tidak sembarangan. hendaknya teman itu memiliki sifat yang tekun belajar, wara’ dan berwatak istiqomah karena hal itu secara langsung maupun tidak langsung akan saling mempengaruhi. teman yang satu akan terpengaruh dengan teman yang lainnya. sebagiman diungkapkan Zarnuzi dalam syairnya:

“Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. karena biasanya orang itu mengikuti temannya. kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kau akan mendapat petunjuk.”

3. Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat memilki peran penting dalam pendidikan, bagaimanapun peserta didik hidup di lingkungan masyarakat sehingga pola prilaku dan gayanya akan dipengaruhi oleh masyarakat. masyarakat yang baik akan membentuk pola peserta didik yang baik pula. peran masyarakat sangat besar pengaruhnya karena anak tinggal lama di masyarakat. oleh karena itu maka masyarakat harus mengambil bagian dari proses belajar di sekolah dan memindahkannya di masyarakat agar pendidikan tidak hanya di sekolah, dengan demikian maka prinsip long life education akan tercipta.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah media dalam mendidik dan mengembangkan peotensi-potensi kemanusiaan Pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun ruang lingkup tersebut yaitu :

a. Perbuatan Mendidik Itu Sendiri.

b. Anak Didik

c. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

d. Pendidik

e. Materi Pendidikan Islam

f. Metode Pendidikan Islam

g. Evaluasi Pendidikan

h. Alat-Alat Pendidikan Islam

i. Lingkungan Sekitar Atau Millieu Pendidikan Islam

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Drs. H. M. Ag, diktat pendidikan islam, lembaga pendidikan pelita umat, Jakarta, 2005.

Uhbiyati, Dra.Hj. Nur,Ilmu pendidikan Islam, Bandung :Pustaka setia, , 1998

Muhaimin, Drs., MA, Drs. Abd mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda karya, 1993

starawaji.wordpress.com/.../dasar-dasar-pendidikan-agama-islam/ asep.students.uii.ac.id/.../konsepsi-lingkungan-pendidikan-islam/ arhansyaddad.wordpress.com/2010/.../metode-pendidikan-islam/ makalah-ibnu.blogspot.com/.../hakekat-evaluasi-pendidikan-islam.html

mkpd.wordpress.com/.../ruang-lingkup-materi-pendidikan-islam/



[1] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Raja grafindo Persada, Jakarta, 1999. Hal. 23

[2] Drs. H. Ahmad, M. Ag, Diktat Pendidikan Islam, Lembaga Pendidikan Pelita Umat, Jakarta, 2005. Hal.

[3] Hasbullah, Dasar-dasr Ilmu Pendidikan, Raja grafindo Persada, Jakarta, 1999. Hal. 10

[4] Drs. H. Ahmad, M. Ag, diktat pendidikan islam, lembaga pendidikan pelita umat, Jakarta, 2005. Hal. 22

[5] mkpd.wordpress.com/.../ruang-lingkup-materi-pendidikan-islam/

[6] Dra. Hj Nur Uhbiyati, Ilmu pendidikan Islam, Pustaka setia, Bandung, 1998. Hal.123

[7] makalah-ibnu.blogspot.com/.../hakekat-evaluasi-pendidikan-islam.html

[8] Drs. Muhaimin, MA, Drs. Abd mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Trigenda karya, Bandung,1993.Hal.277

[9] Ibid. Hal. 279